Tiga ciri
utama yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal dan nonverbal.
- Lambang-lambang non-verbal digunakan paling awal sejak kita lahir di dunia ini, sedangkan setelah tumbuh pengetahuan dan kedewasaan kita, barulah bahasa verbal kita pelajari.
- Komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding komunikasi non-verbal. Bila kita pergi ke luar negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh masyarakat di negara tersebut, kita bisa menggunakan isyarat-isyarat non-verbal dengan orang-orang yang kita ajak berkomunikasi.
- Komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa non-verbal yang lebih merupakan aktivitas emosional. Artinya, bahwa dengan bahasa verbal, sesungguhnya kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak, sementara melalui bahasa nonverbal, kita mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian, perasaan dan emosi yang kita miliki.
Definisi
Don Stacks dalam bukunya Introduction to
Communication Theory menjelaskan bahwa perhatian untuk mempelaji
aspek-aspek dalam komunikasi non-verbal masih sangat kecil, sehingga dari
banyak referensi tentang komunikasi antar manusia, kita lebih banyak menemukan
batasan mengenai komunikasi verbal. Dicontohkannya Frank E.X Dance dan Carl E.
Larson menawarkan lebih dari seratus definisi tentang komunikasi verbal.
Secara
sederhana, komunikasi non-verbal dapat didefinisikan sebagai berikut: Non
berarti tidak, Verbal bermakna kata-kata (words), sehingga
komunikasi non-verbal dimaknai sebgai komunikasi tanpa kata-kata.
Adler dan
Rodman dalam
bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana
tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut dengan vocal
communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal
communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata.
Dengan
demikian, definisi kerja dari komunikasi non-verbal adalah pesan lisan dan
bukan lisan yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan
(oral and non-oral messages expressed than linguistic means).
Tipe-tipe
komunikasi berikut ini :
Sumber :
Ronald B. Adler, George Rodman, Understanding Human Communication, Second
edition, hal. 96
Tabel
tipe-tipe komunikasi diatas dapat dibaca sebagai berikut: komunikasi verbal
yang termasuk dalam komunikasi vokal adalah bahasa lisan, sedang yang tergolong
dalam komuikasi non-vokal adalah bahasa tertulis. Sementara komunikasi
non-verbal yang termasuk dalam komunikasi vokal adalah nada suara, desah,
jeritan dan kualitas vocal; dan yang termasuk dalam klasifikasi komunikasi
non-vokal adalah isyarat, gerakan (tubuh), penampilan (fisik), ekspresi wajah
dan sebagainya. Atau kita dapat membaca tabel diatas secara terbalik, diawali
dengan komunikasi vokal dan non-vokal terlebih dahulu.
Batasan lain
mengenai komunikasi non-verbal dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, yaitu :
- Frank E.X. Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi non-verbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content for meaning).
- Edward Sapir: Komunikasi non-verbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak dimana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all).
- Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi: komunikasi Antar Budaya memberikan batasan-batasannya sebagai berikut :
- Komunikasi non-verbal adalah komunikasi tanpa kata-kata
- Komunikasi non-verbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara
- Komunikasi non-verbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain
- Komunikasi non-verbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.
Perbedaan
antara Komunikasi Verbal dan Non-Verbal
Secara
sekilas telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa antara komunikasi
verbal dan non-verbal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
dalam arti kedua bahasa tersebut bekerja bersama-sama untuk menciptakan suatu
makna. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan-perbedaan.
Dalam
pemikiran Don Stacks dkk. ada tiga perbedaan utama diantara keduanya
yaitu kesengajaan pesan (the intentionality of the massage), tingkat simbolisme
dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in the act or message),
dan mekanisme pemrosesan (processing mechanism).
Kesengajaan
Satu
perbedaan utama antara komunikasi verbal dan non-verbal adalah persepsi
mengenai niat (intent). Pada umumnya niat ini menjadi lebih penting ketika kita
membicarakan lambang atau kode verbal.
Michael
Burgoon dan Michael
Ruffner menegaskan bahwa sebuah pesan verbal adalah komunikasi,
kalau pesan tersebut :
- Dikirimkan oleh sumber dengan sengaja
- Diterima oleh penerima secara sengaja pula
Komunikasi non-verbal
tidak banyak dibatasi oleh niat (intent) tersebut. Persepsi
sederhana mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan
menjadi komunikasi non-verbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung kurang
dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan dengan
komunikasi verbal. Selain itu, komunikasi non-verbal mengarah pada norma-norma
yang berlaku, sementara niat atau intent tidak terdefinisikan dengan jelas.
Misalnya, norma-norma untuk penampilan fisik. Kita semua berpakaian , namun
beberapa sering kita dengan sengaja berpakaian untuk sebuah situasi tertentu?
Beberapa kali seorang teman member komentar terhadap penampilan kita ? persepsi
receiver mengenai niat ini sudah cukup untuk memenuhi persyaratan guna
mendefinisikan komunikasi nonverbal.
Perbedaan-perbedaan
Simbolik (Symbolic Differences)
Kadang-kadang
niat (intent) ini dapat dipahami karena beberapa dampak simbolik
dari komunikasi kita. Misalnya, memakai pakaian dengan warna atau model
tertentu, mungkin akan dipahami sebagai suatu ‘pesan’ oleh orang lain (misalnya
berpakaian dengan warna hitam akan diberi makna sebagai ungkapan ikut berduka
cita).
Komunikasi verbal
dengan sifat-sifatnya merupakan suatu bentuk komunikasi yang diantarai (mediated
form of communication). Dalam arti kita mencoba mengambil kesimpulan terhadap
makna apa yang diterapkan pada suatu pilihan kata. Kata-kata yang digunakan
adalah abstraksi yang telah disepakati maknanya, sehingga komunikasi verbal
bersifat intensional dan harus ‘dibagi’ diantara orang-orang yang terlibat
dalam tindak komunikasi.
Sebaliknya,
komunikasi non-verbal lebih alami, ia beroperasi sebagai norma dan
perilaku yang didasarkan pada norma. Mehrabian menjelaskan bahwa komunikasi
verbal dipandang lebih eksplisit dibanding bahasa non-verbal bersifat implicit.
Artinya, isyarat-isyarat verbal dapat didefinisikan melalui sebuah kamus yang
eksplisit dan lewat aturan-aturan sintaksis, namun hanya ada penjelasan yang
samar-samar dan informal mengenai signifikansi beragam perilaku non-verbal.
Mengakhiri
bahasan mengenai perbedaan simbolik ini, kita mencoba untuk melihat
ketidaksamaan antara tanda (sign) dengan lambang (symbol). Tanda
adalah sebuah representasi alami dari suatu kejadian atau tindakan. Ia adalah
apa yang kita lihat atau rasakan. Sendangkan lambang mempresentasikan tanda
melalui abstraksi.
Komunikasi verbal
lebih spesifik dari bahasa non-verbal, dalam arti ia dapat dipakai untuk
membedakan hal-hal yang sama dalam sebuah cara yang berubah-ubah, sedangkan
bahasa kontroversi lebih mengarah pada reaksi-reaksi alami seperti perasaan
atau emosi.
Mekanisme
Pemprosesan
Perbedaan
ketiga antara komunikasi verbal dan non-verbal berkaitan dengan bagaimana kita
memproses informasi. Semua informasi termasuk komunikasi diproses melalui
otak, kemudian otak kita tersebut menafsirkan informasi ini lewat
pikiran yang berfungsi mengendalikan perilaku-perilaku fisiologis (refleks) dan
sosilogis (perilaku yang dipelajari dan perilaku social).
Satu
perbedaan utama dalam pemrosesan ada dalam tipe informasi pada setiap belahan
otak. Secara tipikal, belahan otak sebelah kiri adalah tipe informasi
yang lebih tidak berkesinambungan dan berubah-ubah, sementara belahan
otak sebelah kanan, tipe informasinya lebih berkesinambungan dan
alami.
Berdasarkan
pada perbedaan tersebut, pesan-pesan verbal dan non-verbal berbeda dalam
konteks struktur pesannya. Komunikasi non-verbal kurang terstruktur.
Aturan-aturan yang ada ketika berkomunikasi secara non-verbal adalah lebih
sederhana dibanding komunikasi verbal yang mempersyaratkan aturan-aturan tata
bahasa dan sintaksis. Komunikasi non-verbal secara tipikal diekspresikan pada
saat tindak komunikasi berlangsung.
Tidak seperti
komunikasi masa lalu atau komunikasi masa mendatang. Selain itu, komunikasi
non-verbal mempersyaratkan sebuah pemahaman mengenai konteks dimana interaksi
tersebut terjadi, sebaliknya komunikasi verbal justru menciptakan konteks
tersebut.
Beberapa Pendekatan
dalam Teori Komunikasi Non-verbal
Permulaan
dari studi komunikasi non-verbal modern seringkali diidentifikasikan dengan
karya Darwin, "The Expression of Emotions in Man and Animals".
Perhatian Darwin terhadap komunikasi non-verbal terutama berkaitan dengan
fungsinya sebagai sebuah teori untuk menjelaskan mengenai penampilan (theory of
performance), sebuah cara berpidato yang mengindentifikasikan suasana hati,
sikap atau perasaan.
Dari karya
Darwin ini, perhatian komunikasi non-verbal telah memunculkan kajian antar
disiplin. Dari hasil karyanya pula, telah dikembangkan tiga perspektif
teoritis, yaitu the ethological approach (studi mengenai kesamaan-kesamaan
antara perilaku manusia dengan perilaku binatang), the anthropological approach
dan the functional approach.
Ethological
Approach (Pendekatan Etologi)
Menurut
Darwin, emosi manusia seperti halya emosi dari binatang dapat dilihat dari
wajahnya. Darwin mengasumsikan bahwa komunikasi non-verbal dari makhluk hidup
yang berbeda sebenarnya adalah sama. Orang-orang yang mendukung pandangannya
seperti Morris, Ekman dan Friesen percaya bahwa ekspresi non-verbal pada budaya
manapun esensinya sama, karena komunikasi non-verbal tidak dipelajari, ia
adalah bagian alami dari keberadaan manusia. Dua contoh etologis yang sering
disebut-sebut adalah senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan
pada kultur manapun juga.
Teori
Struktur Kumulatif
Dalam
teorinya ini, Ekman dan Friesen memfocuskan analisisnya pada makna yang
diasosiasikannya dengan kinesic. Teori mereka disebut 'cumulative structure'
atau ‘meaning centered’ karena lebih banyak membahas mengenai makna yang
berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku.
Mereka beranggapan bahwa seluruh komunikasi non-verbal merefleksikan dua hal:
apakah suatu tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan
verbal.
Hal ini
dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang menceritakan kepada gerak
tangannya yang menunjukkan tinggi dan ekpresi wajah yang gembira. Gerak tangan
yang menunjukkan tinggi ini tidak akan memiliki arti tanpa disertai ungkapan
verbal, jadi tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya
dengan wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat diartikan tanpa
bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua tindakan tersebut telah
manambahkan kepada makna yang berkaitan dengan interaksi antara kedua orang
tersebut, dan ini oleh Ekman dan Friesen disebut sebagai ‘expressive
behavior’.
Selanjutnya,
Ekman dan Friesen mengidentifikasi lima kategori dari expressive
behavior yaitu emblem, illustrator, regulator dan penggambaran perasaan, dimana
masing-masing memberikan kedalaman pada makna yang berkaitan dengan situasi
komunikasi.
Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi
wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat
berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian
atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan anggukan kepala, acungan
jempol, atau lambaian tangan.
Illustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi
wajah yang mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang
serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan
adalah persoalan serius, atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang
sedang dibicarakan.
Regulator adalah tindakan yang disengaja yang
biasanya digunakan dalam percakapan, misalnya giliran berbicara. Bentuk-bentuk
lain dari regulator dalam percakapan antara lain adalah senyuman, anggukan kepala,
tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang
kesemuanya berperan dalam mengatur arus informasi pada suatu situasi
percakapan.
Adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang
digunakan untuk menyesuaikan tubuh dan menciptakan kenyamanan batu tubuh atau
emosi. Terdapat dua subkategori dari adaptor, yaitu ‘self’ (seperti
menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung) dan ‘object (menggigit
pensil, memainkan kunci). Perilaku ini biasanya dipandang sebagai refleksi
kecemasan atau perilaku negatif.
Pengambaran
emosi atau effect display yang dapat disengaja maupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun
berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect
display yang berbeda dapat diungkap secara bersamaan dan bentuk seperti ini
disebut affect blend.
Teori
Tindakan (Action Theory)
Morris juga
mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic yang lebih didasarkan pada
tindakan. Dia mengasumsikan bahwa perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya,
melainkan terbagi ke dalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang
terpisah-pisah. Menurutnya, terdapat lima kategori yang berbeda dalam
tindakan yaitu;
- Inborn (pembawaan) merupakan instink yang memiliki sejak lahir, seperti perilaku menyusu
- Discovered (ditemukan), diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur genetic tubuh, seperti menyilangkan kak
- Absorp (diserap), diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman) seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang.
- Trained (dilatih), diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik, dan sebagainya.
- Mixed (campuran), diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup keempat hal di atas.
Anthropological
Approach (Pendekatan Antropologi)
Pendekatan
antropologis menganggap komunikasi non-verbal terpengaruh oleh kultur atau
masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell
dan Edward T. Hall.
Analogi
Lingustik
Dalam
teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi non-verbal memiliki
struktur yang sama dengan komunikasi verbal. Bahasa distrukturkan atas bunyi
dan kombinasi bunyi yang membentuk apa yang disebut dengan kata. Kombinasi kata
dalam suatu konteks akan membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat
akan membentuk paragraph. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi
dalam konteks non-verbal, yaitu terdapat ‘bunyi non-verbal’ yang disebut allokines
(suatu gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat dideteksi).
Kombinasi allokines akan membentuk kines dalam suatu bentuk yagn serupa dengan
bahasa verbal, yang dalam teori ini disebut sebagai analogi linguistic.
Teori ini
mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut:
- Terdapat tingkat saling ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan membentuk ‘infracommunicational system’.
- Komunikasi kinesic berbeda antar kultur dan bahkan antara mikrokultur.
- Tidak ada symbol bahasa tubuh yang universal
- Prinsip-prinsip pengulangan tidak terdapat pada perilaku kinesic
- erilaku kinesic lebih primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal
- Kita harus membandingkan tanda-tanda non-verbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat
Keenam
prinsip yang mendasari analogi linguistic ini pada dasarnya menyatakan bahwa
kelima indera kita berinteraksi atau bekerja bersama-sama untuk menciptakan
persepsi, dan dalam setiap situasi, satu atau lebih indera kita akan
mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, perilaku kinesic bersifat
unik bagi tiap kultur atau sub-kultur, sehingga perbedaan individu dalam
komunikasi nonverbal merupakan fungsi kultur atau subkultur di mana individu
tersebut berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi
tentang komunikasi non-verbal.
Prinsip
ketiga menegaskan kembali bahwa perilaku non-verbal lebih banyak diperoleh
sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang diturunkan antar generasi.
Dia juga menganggap bahwa komunikasi non-verbal lebih bersifat melengkapi
komunikasi verbal daripada mengulang atau menggantikannya yaitu keduanya
bekerja bersama-sama dalam menghasilkan makna. Dan akhirnya, karena komunikasi
non-verbal tidak selalu dilakukan secara sadar lebih bersifat primitive, kita
cenderung melupakan apa yang kita katakan secara nonverbal.
Birdwhistell
menjelaskan bahwa fenomena parakinesic (yaitu kombinasi gerakan yang
dihubungkan dengan komunikasi verbal) dapat dipelajari melalui struktur
gerakan. Struktur ini mencakup tiga factor yaitu; intensitas dari tegangan yang
tampak dari otor, durasi dari gerakan yang tampak, dan luasnya gerakan. Dari
factor-factor ini kita dapat menganalisis berbagai klasifikasi gerakan /
perilaku yang meliputi allokine, kine, kineme.
Analogi
Kultural
Analogi
cultural yang dikemukakan oleh Edward T. Hall membahas komunikasi non-verbal
dari aspek proxemics dan chronemics. Teori Hall mengenai proxemics
mengacu kepada penggunaan ruang sebagai ekspresi specific dari kultur. Teori
Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya sebagai lingkungan,
territorial, dan personal. Lebih lanjut dia mengemukakan adanya tiga jenis
ruang masing-masing dengan norma dan ekspektasi yang berbeda, yaitu informal
space, ruang terdekat yang mengitari kita (personal space), fixed feature space
yaitu benda disekitar lingkungan dekat kita yang realatif sulit bergerak atau
dipindahkan seperti rumah, tembok dan lain-lain. Semifixed-feature space yaitu
barang-barang yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature space.
Salah satu
aspek terpenting dari teori Hall adalah kajiannya mengenai preferensi dalam
personal space. Menurutnya, preferensi ruang seseorang ditentukan oleh
tujuh faktor yang saling berkaitan yang tedapat dalam tiap kultur. Yang
pertama adalah Jenis kelamin dan posisi dari setiap orang yang
saling berinteraksi, yaitu lelaki atau perempuan dan apakah mereka duduk,
berdiri dan sebagainya. Kedua, sudut pandang yang terbentuk oleh bahu
dan dada/pungung dari orang yang berkomunikasi yang berada dalam jarak sentuhan
(factor kinesthetic). Ketiga, sentuhan dan jenis sentuhan (factor
zero-proxemic). Keempat, frekuensi dan cara-cara kontak mata (factor visual
code). Kelima, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan
ketika berinteraksi (factor thermal code). Keenam, odor atau bau yang
tercium ketika berinteraksi. Tujuh, kerasnya atau volume suara dalam
interaksi.
Dalam
analisisnya mengenai chronemics atau waktu sebagai salah satu tanda non-verbal,
Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditentukan dalam berbagai kultur
dalam bentuknya yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang disebut dengan formal-time,
informal-time, dan technical-time. Formal-time mencakup susunan dan siklus,
memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefinisikan
secara longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis dan sosiologis
serta diungkapkan melalui individu atau kelompok.
Sosialisasi
Melalui cara
sosialisasi masyarakat akan mengetahui peranan masing-masing dalam
masyarakat, karenannya kita dapat bertingkah laku sesuai dengan peranan sosial
masing-masing. Dalam usaha menjamin kelangsungan keadaan masyarakat yang
tertib, disamping itu kita menjalankan proses-proses sosialisasi juga harus
melaksanakan suatu usaha yang lainnya, yaitu usaha untuk melaksanakan kontrol
sosial. Kontrol sosial adalah proses yang ditempuh dan semua sarana yang
digunakan oleh masyarakat untuk membatasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran norma sosial oleh
individu-individu warga masyarakat.
Proses
sosialisasi merupakan suatu proses yang amat besar signifikannya bagi
kelangsungan keadaan tertib masyarakat. Artinya hanya hanya lewat proses-proses
sosialisasi itu sajalah norma-norma social yang menjadi determinan segala
kegiatan tertib social itu dapat diwariskan dn diteruskan dari generasi ke
generasi (dengan ataupun tanpa perubahan. Tanpa mengalami proses sosialisasi
yang memadai tidak mungkin seseorang warga masyarakat akan dapat hidup normal
tanpa menjumpai kesulitan dalam masyarakat. Hanya lewat proses-proses
sosialisasi ini sajalah generasi-generasi muda akan dapat belajar bagaimana
seharusnya bertingkah pekerti didalam kondisi dan situasi-situasi tertentu.
Kesulitan-kesulitan
yang cukup besar pasti akan menimpa setiap individu yang tidak berkesempatan
mendapatkan sosialisasi yang memadai yang karenanya akan gagal didalam
usaha-usahanya untuk menyesuaikan diri dangan nerma-norma sosial, khususnya
dengan tingkah pekerti, tingkah pekerti orang lain di dalam masyarakat.
Bagi
masyarakat sendiri, kegagalan-kegagalan demikian tentu saja akan dirasakan pula
sebagai sesuatu hal yang amat menyulitkan dan pastikan akan mengganggu
kelangsungan keadaan tertib masyarakat. Demikian sesungguhnya, sosialisasi
harus dilaksanakan bukan hanya untuk kepentingan masyarakat saja, tetapi
sekaligus dirasakan pula sebagai kepentingan warga masyarakat sendiri secara
individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar